The Preggo Me: Perlengkapan Kehamilan

Setiap kali browsing mengenai perlengkapan kehamilan saya malah jadi bingung sendiri saking banyaknya pilihan yang tersedia. Sepertinya adaaaa saja upaya produsen untuk menarik para ibu hamil berbelanja dengan embel-embel “pregnancy” atau “maternity” blablabla… Tapi kan masa kehamilan cuma sekian bulan. Do I really need it? Jangan sampai dong kita beli sesuatu yang sebenernya ga perlu-perlu amat apalagi kalo gak long lasting. Malah mubadzir ntar..

Sayapun mencoba bertanya-tanya ke teman-teman yang lebih “senior” dalam urusan perhamilan. Di sisi lain, saya coba meraba sendiri juga, kebutuhan pribadi karena tiap ibu hamil kan beda-beda kondisinya. Meski menyebut beberapa merk di sini, tapi beneran ini bukan ngiklan, cuma mau berbagi pengalaman. Meski ga nolak juga kalo ada yang mau ngasih gratisan hohohoho…

Bebantalan

Di antara yang pertama saya beli adalah bantal sandaran untuk kursi kerja. Bukan sesuatu yang spesifik, cuma bantal kotak kecil biasa yang saya peroleh di box diskonan Ace Hardware. Fungsinya untuk menyamankan posisi punggung di kursi kerja (mengingat sekian jam saya harus duduk di kubikel kantor setiap harinya) dan mengurangi back pain. Adapun untuk kenyamanan tidur, saya sempat tergoda dengan “maternity pillow” berbentuk U yang segede gaban. Tapi kemudian saya memutuskan untuk membeli bantal panjang biasa saja untuk menjalankan fungsinya. Pikir saya, maternity pillow sebesar itu pasti akan nampak aneh dan menuh-menuhin ruang. Nyatanya bantal panjang plus bantal guling yang sudah ada saja sudah cukup menyamankan posisi tidur saya.

bebantalanedit

*comot gambar dari sana-sini sampai lupa link-nya. maap..

Outfit

Untuk pakaian, saya tidak lantas mengganti seluruh isi lemari. Sekadar menyortir ulang antara rak yang “masih bisa dipakai” dan yang “pensiun sementara sampai muat dipakai lagi”. Perut yang perlahan mulai membesar awalnya membuat saya mengganti celana panjang yang ada dengan celana berkaret pinggang tapi modelnya juga masih yang biasa, bukan celana hamil. Menjelang akhir trimester kedua baru saya membekali diri dengan kostum yang lebih berbau “pregnancy”. Itupun saya hanya membeli tiga celana hamil (dengan kantong doraemon) berwarna gelap, dua baju hamil untuk kerja, satu baju kerja yang seukuran lebih besar, dan dua baju hamil untuk main. Adapun baju batik yang jadi kostum kerja tiap hari jumat, saya lebih memilih membeli yang model blazer kancing atas atau tanpa kancing sehingga tetap bisa digunakan setelah melahirkan. Selain itu, saya juga menambah koleksi gamis kaos yang lebih fleksibel dipakai di masa hamil maupun tidak. Cuma memang untuk kemudahan mobilitas jarang saya pakai di Jakarta. Pakainya lebih banyak ketika pulang Demak saja.

pengennya sih bisa stylish kayak mbak Blake Lively gini tapi... *pinjem gambar dari sini

pengennya sih bisa stylish kayak mbak Blake Lively gini tapi…
*pinjem gambar dari sini

Beberapa ibu hamil mengalami kaki bengkak yang mengharuskannya membeli sepatu satu atau dua ukuran lebih besar dari yang biasa dipakai. Alhamdulillah selama masa awal kehamilan saya masih bisa memakai koleksi sepatu yang sudah ada. Adapun memasuki masa tengah-akhirnya, tinggal dua sepatu yang saya gunakan sehari-hari. Mau kerja, main, jalan-jalan, gonta-ganti aja antara dua sepatu itu. Keduanya merk Skechers. Yang satu tipe GoWalk, satunya lagi casual. Memory foam-nya yang super nyaman sangat membantu kaki ibu hamil yang cenderung cepat lelah. Grip bawah yang mencengkeram permukaan juga membuat saya merasa aman karena meminimalisir kemungkinan terpeleset. Mayan lah ngirit ga perlu beli sepatu baru.

Underwear

Tapi rupanya ukuran bra tidak dapat menipu, karena bra-bra lama sudah mulai membuat sesak sehingga saya harus mulai bergeser pada ukuran yang baru. Ketika membeli bra baru-pun, saya lebih memilih membeli jenis nursing bra, itung-itung sekalian investasi buat masa menyusui nanti. Seiring membesarnya perut, kawat penyangga bra akan terasa menyesakkan dan bikin begah. Bra tanpa kawat jadi pilihan yang lebih nyaman. Pengennya sih beli kamisol bra-nya Aerism Uniqlo lagi. Bukan termasuk dalam kategori maternity undies sih. Kebetulan saja saya punya satu yang pas banget menyangga dan melar nyaman kainnya mengikuti tubuh. Tapi ya itu.. Mahal je.. Belum promo diskon lagi.

Tentang celana dalam, saya tetap dapat menggunakan ukuran seperti biasa, tapi modelnya lebih memilih yang mini saja. Yang ini tips dari nyah Priska. Celana dalam model lain seperti midi, boxer, apalagi maxi tidak dapat menampung bagian perut yang mulai menjembling. Tapi model mini mah tetep bakal nyangkut di bagian bawah perut. Dengan demikian, lumayan bisa berhemat. Toh celana dalam ini masih akan dapat terus dipakai setelah kehamilan. Saya coba juga buat beli celana dalam hamil, tapi ternyata tidak lebih nyaman karena kain yang menutup justru memicu gatal di perut yang sedang meregang kulitnya. Lagipula saya juga tidak suka model granny pants begitu.

Maternity Belt

Sejak awal masa kehamilan, salah seorang tante sudah menyarankan saya untuk memakai pregnancy/maternity belt untuk keamanan kandungan. Tante yang lain malah menyarankan “sayut”, semacam kain perban yang digunakan ala stagen konvensional untuk menyangga perut. Sempat saya tanyakan ke dokter tentang perlukah memakai belt ini, tapi dokter bilang sebetulnya tidak perlu. Hanya memang kebiasaan orang-orang kuno untuk lebih berhati-hati menjaga kandungan. Awalnya saya memilih tidak memakai karena gerah dan perut yang tidak terlalu besar membuat berasa “kopong” mengenakannya. Baru ketika memasuki trimester akhir saya mulai merutinkan diri memakai belt ini setiap bepergian lebih dari dua jam. Lebih nyaman dan aman saja rasanya ada yang “membantu membawa” perut yang mulai memberat. Jadi mengurangi back pain yang semakin tak terelakkan.

tipe maternity belt yang mirip dengan yang saya pakai.  *pinjam gambar dari sini

tipe maternity belt yang mirip dengan yang saya pakai.
*pinjam gambar dari sini

Items yang saya sebutkan di atas ada yang saya beli secara online, ada juga yang langsung datang ke toko. Celana hamil yang saya beli di toko lebih nyaman dipakai daripada yang saya beli online. Tentu karena dengan membeli di toko saya bisa mencoba langsung sebelum memutuskan membeli. Adapun baju hamil untuk kerja saya beli secara online saja. Bantal panjang dan bantal kerja lebih menyenangkan beli di toko karena bisa dites peluk-peluk duluan. Kalau celana dalam hamil dan maternity belt saya beli online karena toh all size. Tapi untuk bra menyusui/ nursing bra, saya sarankan membeli langsung di toko terlebih dahulu untuk memastikan ukuran nyaman terbaru. Ukuran di toko online kadang tidak standar, dan saya termasuk orang yang malas diribetkan dengan prosedur pengiriman tukar ukuran.

Apa lagi ya? Seinget saya itu saja. Nanti kalau ada yang yang mau ditambahkan tinggal saya update lagi deh..

Duh mbak Blake Lively ini kapan sih ga nampak gorgeous-nya?

Duh mbak Blake Lively ini kapan sih ga nampak gorgeous-nya?

 


Sahur Ramadhan Kali Ini

Sejak pertama kali puasa di rantau orang bertahun-tahun silam, saya punya kebiasaan sahur hanya dengan makan roti tawar (plus uborampe-nya) dan buah saja. Biasanya saya sertai susu, madu, vitamin, dan gelonggongan air putih untuk memastikan tetap fit selama Ramadhan. Baru ketika waktunya mudik saya makan sahur dengan nasi dan lauk pauk lengkap. Itupun karena ibu insist, sahur itu ya harus makan nasi. Biar ga lemes, katanya.

Tapi Ramadhan kali ini berbeda. Mengingat ada perut lain yang harus diperhatikan (dan belum tentu biasa sahur pake roti doang) plus calon manusia di dalam kandungan yang perlu nutrisi lengkap, hari pertama puasa ini saya sempatkan untuk memasak. Bukan makanan ribet tar keburu imsak (dan keahlian memasak saya juga belum segitunya). Cuma nasi putih dengan orak-arik sayur. Sederhana, tapi insyaAllah cukup buat bekal puasa seharian hingga saatnya berbuka nanti.

Iya, saya mencoba ikut berpuasa meskipun ada dispensasi. Semoga saja bisa lancar full sebulan tanpa bolong. Amiiiiin!

pinjem gambar dari sini

pinjem gambar dari sini

Selamat menjalankan ibadah Ramadhan, teman-temaaaaan…


The Preggo Me: Trimester Kedua

Setelah melewati trimester pertama yang alhamdulillah lancar-lancar saja, memasuki trimester kedua, tepatnya pada usia kehamilan 14 minggu, saya sempat mengalami reaksi alergi yang membuat saya harus segera ke UGD Rumah Sakit terdekat. Agak di luar kebiasaan karena meskipun saya mempunyai riwayat alergi, tapi saya biasanya tidak bermasalah dengan allergant yang menjadi penyebab kali ini. Kata dokter hal ini memang bisa terjadi pada ibu hamil karena kondisi yang lebih lemah dan rentan (waktu itu kebetulan pas kerjaan lagi banyak buat persiapan event, malah sampai lembur segala), plus “bakat” alergi yang sudah ada, membuat allergant yang biasanya tubuh saya kebal jadi bisa ikut memicu reaksi. Meski demikian, dokter jaga tidak berani memberi saya obat apapun karena kondisi saya yang sedang hamil. Menurut penjelasan dokter, obat alergi bersifat menyerap kalsium dalam tubuh yang justru sedang sangat diperlukan untuk pembentukan tulang yang sedang diperlukan oleh janin dalam kandungan. Dokter hanya menyarankan saya banyak minum susu untuk menggelontor racun dalam tubuh, dan segera kontrol ke dokter obgyn untuk melihat apakah kejadian tersebut membawa efek pada kondisi janin.

20weeks me

Esoknya segera saya kontrol dan menceritakan duduk perkara pada dokter obgyn. Ketika dilihat melalui USG, ternyata air ketuban saya terhitung sangat sedikit, padahal sebagai tukang minum (air putih, tentunya) saya sudah masuk kategori Unta. Jadilah saya disuntik obat (di pinggul/pantat) untuk memicu produksi air ketuban. Masalah yang sama masih muncul pada kunjungan berikutnya dua minggu kemudian. Selain menambah intake air putih, saya juga diminta untuk banyak mengkonsumsi makanan berprotein tinggi. Perintah itu saya ikuti dengan sepenuh hati dan harap mengingat dokter menyertakan “ancaman”, kalau pada kunjungan berikutnya jumlah air ketuban masih belum memadai, maka akan disuntikkan cairan tambahan melalui perut. Disuntik versi biasa aja saya sudah sebisa mungkin nggak, apalagi ini di perut! Hiiiiiyy…. Alhamdulillah pada kontrol berikutnya, jumlah air ketuban sudah terhitung normal sehingga prosedur tersebut tidak perlu terjadi.

Di trimester kedua ini juga baby bump belum terlalu kelihatan. Terbukti dengan masih dibiarkannya saya berdiri di angkutan umum baik itu bus maupun kereta. Sepertinya saya masih lebih terlihat sebagai mbak-mbak yang berperut buncit atau lagi masuk angin ketimbang ibu hamil. Apalagi pakaian yang saya kenakan juga masih sama dengan pakaian sebelum hamil. Saya bahkan masih bisa beberapa kali boarding melewati petugas bandara tanpa melaporkan kehamilan. Well.. ga seharusnya sih.. wong ya tinggal tanda tangan surat keterangan doang.

22weeks me

Untunglah mual-mual ringan yang terjadi di trimester pertama sudah tidak lagi terjadi. Meski demikian saya sudah mulai diingatkan oleh orang-orang kantor setiap kali masih naik turun tangga. “Cuma satu lantai kok bu/pak”, jawab saya sambil nyengir. Tetap saja saya mendapatkan ceramah panjang lebar karenanya. Duh senangnya banyak yang perhatian sama bumil.. 😀

Namun demikian, pada fase ini saya mulai mudah kelelahan apabila terlalu banyak beraktivitas apalagi yang melibatkan berdiri ataupun berjalan. Jarak dari kantor ke blok M yang biasanya menjadi rute sehari-hari saja lumayan bisa bikin ngos-ngosan dan kaki bengkak. Berasa banget ketika sholat asar-maghrib-isya’ yang waktunya di penghujung hari. Kalau buat duduk di antara dua sujud atau tahiyat kok susah dan terasa keras berarti saya kecapekan. Selain itu saya juga gampang kedinginan. Greges-greges atau meriang kalo orang Jawa bilang. Biasanya terjadi di malam hingga pagi hari setiap habis bersentuhan dengan air. Jangankan mandi, untuk wudhu saja tak jarang dimasakin air dulu oleh suami. Really-really grateful to have such a helpful husband like him. Thank you, sayang.. Mwah!


The Preggo Me: Trimester Pertama

Ketika pertama kali menemukan dua strip dalam alat tes kehamilan, saya masih belum yakin. Karenanya saya merasa perlu mengkonfirmasi kepada dokter kandungan “beneran”. Blank tentang dunia per-dokter obgyn-an di Jakarta (atau di manapun juga sih sebenarnya), saya mengikuti saja jejak beberapa teman yang sudah terlebih dahulu hamil dan melahirkan di RSB Asih, di kawasan Melawai, yang berjarak tidak jauh dari kantor tempat saya bekerja. Ketika mendaftar ke bagian registrasi dan ditanya mau konsul ke dokter siapa, saya juga tak pegang referensi tertentu. “Siapa aja deh, mbak, yang lagi praktek” ujar saya ke mbak petugasnya.

Saya memang sengaja tidak mau jadi ibu hamil yang bagai anggota fandom mengejar dokter tertentu. Customer adalah raja, bukan? Jadi saya bebas dong milih ke dokter siapa aja. Saya coba saja dulu. Kalau ternyata nggak cocok, ya tinggal ganti. Gampang. Jadilah selama masa kehamilan ini, saya cek ke tiga dokter. Dua dokter di RSB Asih, dr. Nurwansyah yang praktek di hari kerja, dan dr. Ari Waluyo yang praktek di hari weekend, agar waktunya lebih leluasa kalau suami ingin mendampingi. Satu lagi dr. Dewanto di RS Permata Hati, Kudus, tempat saya berencana melakukan proses persalinan nanti. Alhamdulillah sejauh ini saya puas dengan layanan ketiganya yang sabar, ramah, menenangkan dan senantiasa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

bukan perut saya. pinjem gambar doang dari sini.

bukan perut saya. pinjem gambar doang dari sini.

Trimester awal saya jalani dengan lancar dan tidak merepotkan. Mual wajar berlangsung sepanjang hari sempat mengurangi nafsu makan sehingga berat badan saya malah sempat turun. Tapi untungnya bukan tipe morning sickness yang sampai mengganggu aktivitas. Demikian pula ketika banyak yang bertanya “ngidam apa?”, saya cuma tersenyum sambil menggeleng. Lah memang nggak ada keinginan menggebu untuk makan atau melakukan sesuatu yang sampai di luar nalar (setidaknya itu yang saya pahami sebagai definisi “ngidam”, iya kah?). Wajar pengen ini itu, tapi ketika gak memungkinkan atau ga keturutan ya biasa aja.

Kalau beberapa ibu hamil memilih untuk tidak bepergian di trimester pertama, saya malah tiga kali beperjalanan dinas yang menggunakan pesawat terbang. Salah satunya dengan lokasi meeting room ada di lantai tiga tanpa lift. Naik turun tangga tiga lantai juga hajar saja. Dasar saya memang aslinya pecicilan dan sok gengsian ga mau dibilang lemah :)) . Tapi tentunya ga pake lari. Kebetulan memang orang kantor belum banyak yang tahu kalau saya hamil karena belum banyak perubahan fisik yang kasat mata. Sayapun yakin-yakin aja kalau gapapa. Waktu lapor dokter juga dibilang gapapa mau bepergian naik pesawat di usia kehamilan berapa saja. So no more worries.

Untungnya ketika bertemu Eka, saya direkomendasikan untuk install apps Pregnancy di android. Di situ tersedia berbagai informasi day to day fase apa yang dilalui, do’s and dont’s, tips and tricks, macem-macem lah. Jadi sedikit banyak saya bisa belajar dan memantau apa saja yang terjadi selama proses kehamilan. Maklum lah namanya juga newbie.. Masih sering bingung ama perubahan yang terjadi di badan sendiri.


Pitch Perfect 2: It’s Worth The Wait!

Sequel yang sudah saya tunggu sejak berkali-kali menonton ulang film pertamanya akhirnya tayang juga: Pitch Perfect 2. Dan penantian nyaris tiga tahun itu sama sekali tidak mengecewakan. Pada beberapa adegan dan bagian memang terkesan klise dan “oh please..!” tapi sama sekali tidak mengurangi kepuasan saya menonton film ini. Das Sound Machine, rival berat The Barden Bellas kali ini begitu memukau sehingga membuat saya tidak bisa membenci mereka. Bayangpun Uprising-nya Muse dalam versi acapella! Saya bahkan menjadi sangat emosional di bagian final performance, i literally cried tears of joy.

I definitely would watch this movie (and listen to the soundtrack) all over again just like the first movie.

pitch perfect 2

Oh iya, jangan langsung meninggalkan kursi ketika film berakhir, karena di tengah credit title ada extra scene yang sangat layak ditunggu 😉

*pinjem gambar dari sini


Tak Kenal Maka…

Di sebuah lift kantor yang tidak begitu penuh, sehari setelah pelantikan pejabat. A dengan riang menyapa B yang baru memasuki lift.

A: Eh Selamat yaaaa.. Udah ganti bos baru. Iya kan, ganti “Bapak”, kan?

B: Iya (menjawab kalem)

A: Kayak apa sih Bapaknya? Galak nggak?

B: Kayak itu (menunduk sambil menunjuk bapak-bapak yang tepat berada di belakang A)

A: …

pesan moral:

Lain kali kalo ganti bos, coba digugel dulu kayak apa muka dan penampakan bos barunya. Jangan sampe mau gosipan ternyata orangnya ada di lift yang sama.


Mengenal Tjokroaminoto

hos tjokroIya, mengenal. Sebelum nonton film terbaru Garin Nugroho yang masih tayang di bioskop ini, saya hanya mengetahui Haji Oemar Said Tjokroaminoto sebagai pahlawan nasional yang namanya sering disingkat HOS Tjokroaminoto dan digunakan sebagai nama jalan. Jaman sekolahpun cerita mengenai beliau dan organisasinya hanya nyantol di kepala sebatas bahan persiapan ujian. Baru di film Guru Bangsa Tjokroaminoto, saya mendapat cerita yang lebih panjang mengenai profil dan sepak terjang sosok yang dijuluki “Yang Utama” dengan cara yang lebih menyenangkan dan mudah saya cerna, yaitu melalui film.

Jika semula banyak yang khawatir kebingungan dengan cast Reza Rahadian di film ini, tenang saja.. Dia melakukan tugasnya dengan cemerlang (seperti biasa) dan saya sama sekali tidak melihat Habibie di sosok HOS Tjokroaminoto yang ditampilkannya. Demikian pula Tanta Ginting, yang sehari sebelumnya saya lihat sebagai agen properti cenderung melambai di Filosofi Kopi, di sini juga cukup meyakinkan sebagai Semaoen yang idealis sosialis meledak-ledak bahkan radikal. Well.. agak mirip dengan Sjahrir yang dibawakannya dalam Soekarno sih.. Tapi beda kok. They’re professionals.

hos tjokro juga

Selain kedua aktor di atas, film ini juga bertabur banyak bintang. Agak overwhelming malah melihat Christine Hakim, Didi Petet, Alex Komang, Sudjiwo Tedjo, Ibnu Jamil, hingga Maia Estianti, Deva Mahenra dan Chelsea Islan dalam satu film. Putri Ayudya (yang dari beberapa angle mirip banget ama mbak Medina @memethmeong) sang pendatang barupun tampil mengesankan sebagai ibu Soeharsikin, istri HOS Tjokroaminoto. Selain para star cast, saya juga suka sekali tokoh Mbok Toen dan Tukang Penjual Dingklik (kursi) yang selalu luwes memancing tawa.

hos tjokro lagi

Seperti khasnya karya Garin, film ini ditampilkan indah dan artistik. Pada beberapa scene bahkan cenderung teatrikal lengkap dengan sang aktor memandang lurus ke arah kamera seperti ingin menyampaikan dialog kaya makna langsung pada penonton. Hanya saja, durasi yang begitu panjang (161 menit), membuat beberapa orang yang gak niat nonton film sejarah (apalagi kalau nontonnya sebagai alternatif karena kehabisan tiket Fast and Furious 7) keluar dari studio di tengah film. Itupun saya percaya tim editor sudah berusaha sedemikian rupa mengkompress durasi karena beberapa scene berasa terpenggal tanpa kita diberi tau latar cerita itu tokoh siapa dan bagaimananya. Seperti sosok balerina berwajah cina yang ujug-ujug nongol di tengah pertempuran tanpa kulonuwun. Baru di bagian akhir film balerina itu nongol lagi bersama teman-temannya menari di gedung gubernur baru. Bahkan kehadiran sosok Stella yang diperankan Chelsea Islan-pun tak jarang membingungkan saya. Cantik sih.. but it looks like she’s everywhere. Semacam stalker atau grupisnya pak Tjokro saja.

Dan berhubung saya baru minggu lalu dari Museum Ullen Sentalu setelah beberapa waktu sebelumnya ke museum Danar Hadi, saya jadi memperhatikan motif batik yang dikenakan para pemain. Sempat terlihat beberapa buruh mengenakan batik motif parang dan kawung sebelum Mbok Tambeng mengatakan bahwa batik yang termasuk motif larangan (hanya boleh dikenakan keluarga kerajaan) itu mulai boleh digunakan oleh rakyat jelata (kalau tidak salah, kebijakan ini dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang super keren, moderat, dan saya jadi ngefans itu). Well, mungkin saking banyaknya motif batik yang beredar di pasaran sekarang, jadi detil sejarah penggunaan motif batik, yang saya yakin nggak semua orang jawa memahami pun, terlewatkan.

hos lagi

Meski demikian, saya sangat terpukau dengan detil properti berupa kereta trem yang masih berfungsi, berjalan di relnya yang tentu tak akan kita temui lagi di kota yang sesungguhnya di masa sekarang. Lagu-lagu yang menjadi pengiring juga pas di kuping. Saya suka sekali lagu yang dinyanyikan Maia Estianti sebagai ibunda Soeharsikin. Tokoh yang diperankannya pasti sangat luar biasa di masa itu, seorang perempuan jawa berlogat medhok surabaya, istri bupati, yang piawai memainkan piano menyanyikan lagu berbahasa inggris. Ibu Mangoensoemo, you rock!!

Durasi panjang yang sempat saya khawatirkan membuat ibu hamil ini mengantuk dan ketiduran, ternyata masih aman. Saya tetap terjaga dan antusias mengikuti cerita meski sambil menahan pipis. Jadi saya sangat merekomendasikan film ini untuk segera ditonton mumpung belum turun dari layar.

*gambar-gambar dipinjam dari sini


Tentang Zayn dan 1D

Pagi ini saya mendapat pertanyaan yang sama kesekian kali sejak kabar berhembus kemarin.

“Bener ya, Zayn Malik keluar dari One Direction?”.

Tidak heran juga sih, kenapa beberapa teman di sekitar nanya ke saya. Mereka tahu persis sejak nonton One Direction : This Is Us di bioskop (not to mention dua hari berturut-turut), saya menjadi salah satu penggandrung boysband asal Inggris jebolan The Voice yang mendunia itu. Ketika mendapat kabar bahwa mereka mau konser di Jakarta juga tanpa ragu sedikitpun saya bersama dua orang sahabat sesama Directioners langsung ikutan booking tiket early bird, setahun sebelumnya!

They're coming!

They’re coming! (pinjem gambar dari sini)

Yang tidak saya perhitungkan, banyak hal yang bisa terjadi dalam satu tahun. Oktober 2014 saya menikah, dan tanpa menunggu lama saya diberi kesempatan untuk hamil. Jadilah pada hari pelaksanaan konser, 25 Maret 2015, saya malah tidak jadi nonton karena kondisi badan yang tidak memungkinkan dan pasti bakal kecapekan banget kalau maksa berangkat. Still, no regret. Memang ada saatnya kita harus memasang prioritas, dan untuk saat ini, menjaga kehamilan menjadi salah satu prioritas utama saya.

Jadilah ketika malam konser yang saya idam-idamkan sejak setahun sebelumnya, saya justru tidur lebih awal. Bahkan sebelum waktunya the boys tampil di atas panggung Gelora Bung Karno. Di Jakarta mereka cuma tampil berempat, tanpa Zayn yang pamit balik duluan tidak meneruskan konser dunia karena alasan apapun itulah yang membuatnya kemudian meninggalkan boysband kesayangan remaja putri sedunia.

*pinjem gambar Zayn dari situ

pinjem gambar Zayn dari situ

Tapi atas perginya Zayn dari 1D, saya lebih suka memberikan jawaban versi saya.

“Iya, padahal saya sudah bilang ke Zayn, gapapa dia tampil aja di Jakarta meski saya nggak nonton. Saya ikhlas kok. Tapi Zayn-nya nggak mau. Katanya kalo saya nggak nonton mending dia gak usah ke Jakarta aja. Kalo perlu keluar dari One Direction sekalian. Buat apa dia di One Direction kalo saya nggak dateng ke konsernya? Gitu katanya”

*kemudian dilempar sendal dari seluruh penjuru ruangan*


My Coffee Affair

The furthest distance between me and coffee is pregnancy.

A cup of heaven

A cup of heaven of earth

Saya mulai gemar minum kopi sejak SMP. Dengan segala keterbatasan situasi saya yang saat itu tinggal di asrama, minum kopi menjadi salah satu oase segar yang saya rayakan. Kebiasaan itu berlanjut ketika saya SMU, dan makin menjadi ketika saya kuliah. Di antaranya karena masa itu saya sudah ngekos sehingga lebih bebas memasak air untuk ngopi, tanpa harus turun ke dapur umum asrama untuk minta air panas dulu. Itupun kalau ada, karena mbak-mbak petugas dapur masak air dalam panci besar sehingga kalau kita tidak datang di saat yang tepat maka suhu optimum untuk kenikmatan secangkir kopipun terlewatkan begitu saja.

Kopi Sibu-sibu dan sepiring sukun goreng di Ambon

Kopi Sibu-sibu dan sepiring sukun goreng di Ambon

Jaman kuliah di Malang, asupan kopi harian saya masih pada level dua hingga empat cangkir perhari. Itupun masih kopi sachet seadanya. Baru ketika saya kerja di Jakarta, lalu kuliah di Bandung, dosis itu meningkat hingga enam cangkir perhari. Dan itu kopi hitam tanpa gula. I guess I kinda addicted to coffee. Kalau sehari apalagi beberapa hari nggak dapat asupan kafein, kepala saya bisa pusing. Pusing teramat sangat yang bisa sembuh secara ajaib hanya dengan secangkir kopi. Saya mulai mengumpulkan beberapa jenis kopi nusantara dari daerah-daerah yang saya kunjungi. Beberapa teman tak jarang mengirimi kopi sebagai hadiah atau oleh-oleh. Saya bahkan pernah mendapat kiriman kaos dengan tulisan “Coffee Addict”, dan “Ngopi sik ndak edan” hahahaha…. Itu saking kenalnya para sahabat terhadap kebiasaan ngopi saya.

secangkir kopi aceh langsung di TKP-nya

secangkir kopi aceh asli di TKP-nya

Tapi semua itu harus terhenti ketika dokter menyatakan saya hamil dan menyebutkan kopi sebagai salah satu hal yang harus saya hindari selama masa kehamilan. Rasanya pengen nawar. Pengen teriak dramatis “TIIIIDAAAAAAAKK!!”. Tapi saya sadar sepenuhnya dalam hidup kita memang harus menentukan prioritas. Saat ini, janin dalam kandungan saya lebih memerlukan segala kalsium yang bisa diserap, dibanding kegemaran saya terhadap kopi. Ternyata, cinta saya terhadap bayi ini melebihi cinta saya kepada kopi.

Yang ini secangkir Bajawa Papua tapi minumnya di Klinik Kopi, Jogja

Yang ini secangkir Bajawa Papua tapi minumnya di Klinik Kopi, Jogja

Bukan berarti saya tidak cinta lagi. Saya tetap menikmati aromanya, hingga mengendus-endus tiap ada rekan seruangan di kantor yang bikin kopi. Atau mengkonsumsi susu hamil rasa moka (thanx to Okky atas informasi berharga ini), dan lebih memilih es krim rasa kekopian. Tapi untuk menikmati secangkir kopi sesungguhnya, sepertinya saya perlu alasan yang lebih kuat.

Di sisi lain, hal ini membuat saya bangga. Ternyata secinta-cintanya saya pada kopi, saya masih bisa menahan diri. Untuk kesekian kalinya, terbukti rasio dan akal sehat saya masih bekerja dan tidak mudah tunduk pada emosi dan keinginan hati yang masih suka seenaknya sendiri.


Tentang Ngapati

Menurut perhitungan dokter, wiken lalu adalah waktu terdekat dengan usia empat bulan kehamilan saya. Meskipun menurut cerita ibu dulu ketika saya dan adik-adik dalam kandungan tidak satupun yang dibikinkan acara empat bulanan, tapi kali ini ibu ingin menyelenggarakan syukuran kecil-kecilan yang dalam bahasa jawa biasa disebut “Ngapati” (asal kata “papat” artinya empat). Menurut pembelajaran di Islam, pada usia kandungan empat bulan, malaikat mulai meniupkan ruh pada janin yang ada di kandungan, termasuk segala catatan-catatan yang ditakdirkan untuknya. Ketika diakulturasikan dengan budaya jawa yang hobi selametan untuk menandai setiap tonggak dalam kehidupan, acara Ngapati dijadikan momen bersyukur, penuh harapan serta doa agar janin yang ada dalam kandungan mendapatkan takdir yang baik dalam kehidupannya kelak.

Acara Ngapati kemarin dihadiri oleh kaum laki-laki di kampung. Kami bahkan tak mengundang keluarga besar, hanya mengirim nasi berkat sebagai tanda syukur. Acara diisi dengan pembacaan tahlil bersama, dilanjutkan pembacaan surat Al-Fatihah tiga kali, surat Al-Insyirah tiga kali, dan surat Al-Qadr tiga kali sebelum ditutup dengan doa bersama.

Karena acara dilaksanakan malam hari ba’da maghrib, baru keesokan harinya ketika bertemu saudara dan tetangga, saya mendapatkan feedback. Kebanyakan berkomentar “rujaknya sedep, nok. anakmu pasti nanti perempuan”. Hahahahaha… ada-ada saja, menghubungkan rasa hidangan dengan jenis kelamin anak nantinya. Sebelumnya ketika membantu menyiapkan hidangan, mbak Tun yang dipasrahi ibu untuk menyiapkan nasi berkat memang sempat bilang “nanti rujaknya tak bikin nggak terlalu pedes ya, nok. Biar anakmu nggak galak”. Lha.. mosok ada hubungannya? Saya bertanya-tanya. Mbak Tun lalu menceritakan beberapa “bukti pengamatan” anak-anak yang rujaknya pedas ketika Ngapati, tumbuh menjadi anak yang galak. Benar atau tidaknya, wallahu a’lam bish-showab.

Hidangan dalam nasi berkat yang disajikan juga sangat beragam. Sayang sekali saking sibuknya mempersiapkan acara, saya malah tidak sempat mengambil gambar. Sebagai deskripsi, dalam nampan kecil berbentuk bulat itu disajikan nasi, urap gudangan (matengan semua, karena ibu hamil ga boleh makan yang mentah-mentah), sambal goreng tahu, ikan asin goreng, perkedel, serundeng, bistik daging, acar dan kerupuk udang. Selain nasi dan lauk-pauk, ada juga beraneka jajanan seperti ketan dengan enten-enten, jenang, uler-uleran (kue manis kukusan dari tepung dg warna mencolok dan bentuk bergelombang), rujak, dan roti. Beberapa kru masaknya mbak Tun bahkan menyebut lazimnya ada janur juga sebagai alas hidangan, tapi karena ragam masakan saja sudah cukup merepotkan, jadi tidak diikutsertakan. Jangan tanya makna filosofis satu-persatu hidangan yang ada. Saya cuma dikasih tau kalau hidangan dari ketan itu something sticky, dan jenang itu something sweet. Selebihnya, saya cuma tau kalo rasa hidangan bikinan mbak Tun itu enak. Nyam!