Monthly Archives: Oktober 2014

Tiga Hari Nonton Film Dalam Negeri

“Aku tuh males nonton film Indonesia. Abisnya ga bermutu! Isinya cuma horor esek-esek doang”, ujar seorang teman ketika saya ajak nonton film Indonesia yang sedang tayang. Tentu saja langsung saya tukas “Siapa bilang? Itu kan tergantung yang lu tonton film apaan”. Masih banyak loh film Indonesia bagus yang sama sekali bukan genre horor esek-esek (yang mungkin cuma itu yang dilihatnya)

Tiga hari kemarin saya berkesempatan nonton film-film Indonesia bagus yang bikin makin bangga dengan para pembuat film dalam negeri. Tema yang ditampilkan beragam. Dan yang pasti bisa membawa saya dalam rangkaian cerita yang disajikan.

1. Garuda 19

Bersama rekan-rekan blogger Kopdar Jakarta, saya mendapatkan undangan dari mbak Swastika Nohara, sang penulis naskah, untuk menghadiri premier film yang baru akan tayang serentak 9 Oktober 2014 mendatang.

Kopdar Jakarta sebelum masuk studio buat nonton Garuda 19 (photo courtesy of tikabanget)

Foto dulu bareng Kopdar Jakarta sebelum masuk studio buat nonton Garuda 19 (photo courtesy of tikabanget)

Jika kita sempat turut dalam sorak-sorai bangga terhadap perjuangan Tim Nasional Sepak Bola Indonesia U-19, film ini mengajak kita menengok proses di baliknya. Bagaimana perjalanan mereka hingga menjadi tim yang solid dan membawa harum nama bangsa. Bukan cuma perjalanan bocah-bocah luar biasa itu dari berbagai pelosok Indonesia, tapi juga bagaimana coach Indra Sjafrie dan para official menggembleng mereka dengan berbagai keterbatasan yang ada. Hiiiiih… jadi makin gemes sama PSSI. Pengen ta sentil satu-satu pake raket nyamuk itu orang-orang yang cuma rebutan kursi tanpa mikir gimana kaderisasi atlet untuk berprestasi.

Sebelum nonton pun, melalui akun twitter dan blog mbak Tika selama proses syuting, kami sudah mendapat sedikit bocoran bahwa film ini akan membawa kita keliling Indonesia. Dan benar saja, setting film yang terpampang mulai dari Alor, Konawe, Buton, hingga Jogja, begitu indah dan menggelitik untuk menggendong ransel menjelajahinya. Yang jelas ini film bikin saya makin cinta ama Timnas Garuda Muda. Apalagi melihat kegigihan tekad Yabes yang lari 15 kilometer untuk pulang dari lapangan sepakbola, saya jadi berasa cemen sekali kalau jarak tak sampai dua kilometer ke kantor saja naik bajaj. Tapi kan.. Tapi.. Tapiiii… Lari di Alor ga pakai resiko kesenggol bajaj atau paru-paru jebol karena polusi, coba di Jakarta.. (iya ini ahlesyan saya saja).

2. Negeri Tanpa Telinga

Jika film sebelumnya mengangkat cerita dunia olahraga, film yang ini lebih menyoroti dunia politik dalam negeri. Penonton yang sudah biasa mengikuti berita politik beberapa waktu terakhir pasti bisa ikut geli melihat berbagai sindiran dan plesetan kasus dan tokoh-tokoh yang ada di film ini. Lola Amaria dengan cerdas menyentil perilaku politikus yang bikin ketawa miris saking lucunya sampe pengen nyekek.

Tokoh-tokoh dengan berbagai latar belakang di film ini secara “kebetulan” terhubung oleh seorang tukang pijit urut. Sebuah profesi yang mungkin banyak dipandang remeh, tapi justru membuka kesempatan terhadap jaringan informasi classified melalui percakapan-percakapan yang tanpa sengaja didengar selagi bekerja. Pengetahuan yang tak disangkanya, malah jadi mengancam keselamatan diri dan keluarganya.

Kalau saya tidak keliru, film ini sempat turun dari bioskop. Untung saja, ketika browsing film kemarin hari itu, saya melihat judul film ini terpampang lagi di layar. Penontonnya memang tak seramai Annabelle (yang demi apapun tidak akan saya tonton, terima kasih), tapi saya merasa beruntung bisa menikmati film cerdas ini di layar lebar. Semoga Lola Amaria dan para sineas nasional tak jera membuat film yang sarat muatan kritik sosial dan membukakan mata, bukan hanya dongeng hiburan belaka.

Eh kira-kira kalau temen-temen “Partai Amal Syurga” diajak nobar film ini pasti seru kali ya?

3. Tabula Rasa

Film ini mengisahkan Hans, pemuda asal Serui, Papua, yang berangkat ke Jakarta atas tawaran sebuah klub sepakbola. Dengan optimisme tinggi dan semangat menyongsong masa depan gemilang, Hans diantar ibu pengasuh dan adik-adik Panti. Apa daya, kejamnya ibukota menelan segala seri dan semangat Hans, mencampakkannya tanpa harapan hingga berniat mengakhiri hidup, terjun dari jembatan di atas jalur KRL. Untunglah dia ditemukan Mak, pemilik rumah makan padang “Takana Juo” yang jatuh iba dan bermaksud menolongnya. Hans bahkan diajari resep-resep masakan padang andalan Mak hingga menjadi juru masak rumah makan tersebut. Bayangpun, rumah makan Padang dengan koki orang Papua! Sungguh sangat Indonesia.

Saya nonton film ini dengan penuh antisipasi. Berbagai tips di media sosial menyarankan untuk tidak menonton ini dalam kondisi perut kosong. Dan nyata benarlah adanya, nonton dengan perut kenyang saja masih cukup bikin menelan air ludah oleh warna-warni indah sajian masakan minang yang begitu menggiurkan. Jadilah seperti para penonton Tabula Rasa lainnya, dari bioskop saya langsung menuju Sari Ratu, rumah makan padang yang masih satu gedung dengan bioskop tempat saya nonton. Meski sesungguhnya, saya justru lebih ingin meramaikan rumah makan padang rumahan seperti punya Mak. Menu yang saya pilihpun seperti biasa, gulai otak. Lain kali saja cicip gulai kepala ikan dan rendang tacabiak seperti bikinan Mak.

Tuh kan.. jadi laper. Ke Sederhana, Sari Indah atau Pagi Sore kita?


Idul Adha Kali Ini

“Tahun ini lu qurban kambing atau sapi?”
“Bukan keduanya”
“Unta? Jangan bilang lu nyulik dari kebun binatang!”
“Lebih besar dari itu”
“Hah?? Dinosaurus? Yang bener aja lu hahahahaha…”

 

 

 

 

“Egoku”