Monthly Archives: Desember 2012

Lost In Translation

Siang ini Rolin, radio komunitas favorit saya, memutarkan lagu Please Forgive Me-nya Bryan Adams. Ingatan sayapun melayang pada kejadian sekian tahun lalu ketika saya masih eSeMPe. Mbak asisten yang bekerja di rumah masih muda, cantik, gaya, dan banyak pacarnya. Mungkin usianya hanya sekitar lima tahun di atas saya. Ketika itu saya sedang mulai mendapatkan pelajaran bahasa inggris di sekolah, dan sedikit-sedikit membiasakan telinga dengan lagu-lagu berbahasa inggris. Mbak asisten yang tak terbiasa dengan bahasa inggris, suatu ketika menanyakan pada saya.

mbak asisten : Dek, ai ken stop loving yu ki artinya apa?

saya : “ai” itu “saya”. “ken” itu “bisa”. “stop” itu “berhenti”. “loving” itu “mencintai”. “yu” itu “kamu”. berarti “ai ken stop loving yu” itu “aku bisa berhenti mencintai kamu” gitu, mbak..

Tentu saja jawaban saya berdasarkan asumsi pembicaraan lisan semata. Wajah mbak asisten pun terlihat murung. Ternyata kalimat itu sampai padanya melalui salah satu pacar yang paling disukainya. Beberapa waktu kemudian, mbak asisten curhat kalau dia sudah putus dengan pacarnya itu.

Sekian tahun berlalu, ketika si mbak asisten telah pulang kampung dan digantikan oleh mbak asisten lainnya, saya baru ngeh lirik lagu ini.

“..Please forgive me, I know not what I do
Please forgive me, I can’t stop loving you..”

Lha.. jangan-jangan, yang dimaksud pacarnya mbak asisten waktu itu bukan “can”, tapi “can’t”. Tapi berhubung si mbak asisten mengucapkannya secara lisan dengan logat medok Wonosobo-an kental, dan pengetahuan bahasa inggris saya masih begitu cetek sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, mereka jadi putus gara-gara salah paham.

Haduh maaf ya, mbak.. Di manapun dirimu sekarang berada. Semoga selalu bahagia sejahtera dan berlimpah cinta.


The Casual Vacancy: Reality Bites

Jadi ceritanya saya baru saja mengkhatamkan buku JK Rowling terbaru. Ketika accidentally terdampar di Gramedia Gandaria City dan menemukan tumpukan buku berwarna dominan merah kuning ter-display, saya mulai merasakan sihirnya. Membaca sinopsis di bagian belakang cover, ternyata tidak terkait dengan dunia sihir magis Harry Potter. Malah lebih bersifat politis. Biasanya saya tidak terlalu tertarik novel-novel politik. Tapi melihat yang satu ini ditulis oleh JK Rowling, tanpa pikir panjang, sayapun langsung memeluk dan membawanya ke kasir.

200px-The_Casual_VacancySejak sampai di kost, buku itu nyaris tak pernah lepas dari waktu senggang saya. Sambil goler-goler sebelum mandi, duduk di metromini, sambil nyoklat hangat di sevel tetangga nunggu ngantuk, hingga waktu-waktu keramat yang memang paling nikmat kalo sambil baca, buku itu selalu saya bawa-bawa…. dan baca tentunya. Dipotong waktu kerja, istirahat, dan bersosialisasi sekadarnya, total sekitar empat hari buku itupun tamat. Akhirnya ada juga buku yang bikin saya segitu attached-nya seperti ketika saya membaca serial Harry Potter. Waktu itu malah lebih parah. Selama dua atau tiga hari saya cuma meletakkan buku ketika sholat dan mandi kilat. Makanpun buku tetap di hadapan. Ternyata JK Rowling memang pendongeng yang memikat, terlepas dari apa yang didongengkannya. Buku yang satu ini malah jelas-jelas mencantumkan ratingnya Dewasa. Meski demikian bukan berarti lantas jadi seperti serial Fifty Shades of Grey. Jauuuuuuh! But seriously, sebaiknya batasan usia pembaca ini diikuti mengingat apa yang disajikan dalam buku ini mungkin akan terlalu suram (dan sepahit kehidupan, #halah) bagi usia pembaca di bawahnya.

The Casual Vacancy ini bercerita tentang kehidupan sebuah kota kecil, Pagford, sepeninggal salah satu anggota dewan kotanya. Selain anggota dewan kota, almarhum Barry Fairbrother juga seorang suami, bapak dari empat orang anak, pelatih tim dayung sekolah setempat, dan merupakan sosok percontohan bahwa seorang yang lahir dan dibesarkan di daerah kumuh pinggiran juga dapat sukses dan menjadi warga kota yang terpandang. Posisi yang ditinggalkannya pun menarik minat berbagai kalangan di Pagford untuk mengisinya. Penyelenggaraan pemilihan anggota dewan tak lepas dari serba-serbi politik lokal yang penuh intrik. Apalagi posisi ini akan sangat menentukan bagi kelangsungan Bellchapel, sebuah klinik rehabilitasi bagi ketergantungan narkotika yang oleh beberapa pihak dianggap tak banyak berguna dan lebih baik ditutup saja. Padahal bagi keluarga pasien, keberadaan klinik tersebut menjadi tumpuan harapan bukan hanya kesembuhan pasien dari ketergantungan, namun juga keutuhan dan kelangsungan keluarga itu sendiri.

theblookclubishere_LargeWide

Begitu banyak tokoh yang ditampilkan dalam cerita ini. Dan selayaknya penduduk sebuah kota kecil, satu sama lainnya saling terhubung. Kisah dan hubungan antar tokoh-tokoh yang terjalin menjadi cerminan masyarakat yang biasa kita temui sehari-hari. Konflik kehidupan keluarga, judgement dari masyarakat yang hanya melihat luarnya saja (ya karena sisi luar itulah yang bisa mereka lihat), standar ganda, dan masih banyak lagi yang membuat kita tertegun miris sekaligus kontemplatif. Memang bukan bacaan manis sebagai pengantar tidur dan mimpi indah, tapi justru mengajak kita untuk lebih peka dengan permasalahan-permasalahan sekitar. Gak usah jauh-jauh level negara atau korporasi multinasional, tengok saja tetangga kita. Adakah dari mereka yang membutuhkan kepedulian kita?

*pinjem gambar dari sini dan sini


Film Sepanjang Masa Versi Saya

Terinspirasi postingan cinetariz saya juga jadi pengen berbagi mengenai film-film yang jadi favorit saya sepanjang masa. Film-film ini adalah film yang saking sukanya, saya bisa dan telah menontonnya puluhan kali sampai hampir apal setiap adegan dan dialog, namun tetap saja menikmati dan mau lagi. Gak banyak-banyak.. Saya cuma akan bahas tiga film yang paling “sepanjang masa” buat saya. Ketiganya bergenre drama. Ya maklum aja, mengingat saya sama sekali bukan penggemar film bergenre horor, slasher, apalagi gore.

1. Moulin Rouge (2001)

moulin rougeFilm ini mengisahkan tentang Christian (diperankan oleh Ewan McGregor), seorang penyair yang jatuh cinta pada Satine (diperankan oleh Nicole Kidman). Satine yang terobsesi untuk menjadi aktris merupakan primadona Moulin Rouge, sebuah rumah bordil di Paris milik Harold Zidler . Demi kelangsungan Moulin Rouge, Harold Zidler telah membuat perjanjian kerjasama dengan seorang bangsawan, the Duke of Monroth, bahwa the Duke akan membiayai pertunjukan dengan skenario yang ditulis oleh Christian. Salah satu persyaratan yang diajukan the Duke untuk perjanjian itu, adalah sesi privat bersama Satine. Dasar si Christian ama Satine lagi kasmaran, terlibat project bareng, meski dalam pengawasan Harold Zidler dan the Duke, adaaaa aja cara mereka mencuri-curi momen berdua. Tapi tentu saja Harold Zidler dan the Duke yang posesif itu tidak berdiam diri begitu saja mengetahui ada yang kucing-kucingan di belakangnya. Bagaimanapun the show must go on. Bersama rangkaian cerita yang disuguhkannya, tokoh-tokoh dalam film ini selalu berhasil mengajak saya tersenyum, tertawa, terharu, dan turut bernyanyi sepanjang film.

Yes this is a musical. Jadi ada banyaaaaak lagu yang disajikan dalam rangkaian ceritanya. Sampai jadi dua album soundtrack. Lagu-lagu yang digunakan pun banyak yang berasal dari lagu-lagu populer yang telah familier di telinga sebelumnya. Mulai Roxanne-nya The Police, Material Girl-nya Madonna, Your Song-nya Elton John, sampai Smells Like Teen Spirit-nya Nirvana. Dijamin gak bisa diem deh kalo saya nonton film ini. Jadi jangan nonton film ini bareng saya kalo ingin khusyuk nontonnya. You’ve been warned!

Film ini juga diganjar berbagai nominasi dan penghargaan dari Golden Globe, BAFTA, National Board of Review, hingga Academy Award. Jadi dijamin mantap meyakinkan deh.. Setelah menontonnya pun, saya akan masih akan diam tertegun (tak jarang sambil mengusap air mata), merenungkan pesan Toulouse Lautrec “The greatest thing you’ll ever learn is just to love and be loved in return”.

2. (500) Days of Summer (2009)

500-Days-Of-Summer-2009-Dutch-Front-Cover-14648Saya pertama kali menemukan film ini di Jakarta International Film Festival (Jiffest) tahun 2009. Memang akan sulit melewatkannya, mengingat lagu soundtrack film ini, Sweet Disposition dari Temper Trap, sekaligus juga digunakan sebagai soundtrack promo Jiffest. Ketika menonton juga sangat mudah untuk menemukan relasi antara penonton (baca: saya) dengan tokoh-tokoh di film ini. Bukan hanya Tom Hansen (diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt), atau Summer (diperankan oleh Zooey Deschanel) saja, tapi bisa sekaligus keduanya. Ada kalanya dalam sebuah hubungan kita berada dalam posisi Tom, namun tak jarang juga di posisi Summer. Well, ini memang seperempat curhat.

Jadi ceritanya Tom itu cowo hopeless romantic yang percaya pada takdir dan menanti datangnya the one. Ketika bertemu Summer, Tom merasa menemukan the one yang selama ini dicarinya. Di sisi lain, Summer menjalani hidupnya secara praktis realistis. Asal nyaman ya dijalani saja, living for today and not looking for anything serious. Kedua manusia yang berbeda persepsi inipun kemudian berpisah jalan. Dengan alur yang maju mundur, tersusun satu persatu rangkaian kisah bagaimana Tom jatuh naksir, mabuk kepayang, hingga patah hati berserakan.

Film ini ringan, tak menggurui, namun justru menjadi refleksi. Rasanya seperti berkaca, dan melihat serpih-serpih bayangan masa lalu kita tersaji di dalamnya. Dialog-dialognya sangat catchy dan pada beberapa episode kehidupan berasa turut menampar saya. Salah satu favorit saya sempat saya post juga di sini. Seperti halnya Moulin Rouge, film ini juga banyak dinominasikan dan memenangkan penghargaan, mulai dari Independent Spirit Award, National Board of Review, hingga Golden Globe.

3. Love Actually (2003)

Di antara film-film di atas, film inilah yang mungkin akan paling pas ditonton di akhir tahun seperti ini. Diwarnai nuansa natal yang kental, film ini menceritakan fragmen-fragmen kisah yang berkisar pada satu tema: cinta.

love-actually-poster

Tokoh-tokoh yang terlibat sangat ramai dan bertabur bintang. Ada kisah tentang  seorang perdana menteri dengan staf juniornya, penyanyi tua dengan managernya, penulis dengan house keeper yang tidak bisa berbahasa inggris, juga cerita hubungan bapak dan anak yang baru saja ditinggalkan sang istri/ibu meninggal dunia. Selain itu masih ada kisah cinlok orang kantoran, partner kerja aktor dan aktris stunt adegan telanjang, pasangan yang sang suami mendapatkan godaan dari sekretarisnya, perempuan yang ditaksir sahabat suaminya, hingga tentang seorang pria yang merasa salah benua. Para tokoh dalam kisah-kisah itu terhubung satu sama lain dengan berbagai cara dan event. Melalui film ini kita diajak menyelami hubungan-hubungan yang terjalin antar tokoh, sekaligus ups and downs yang mengiringinya.

Dari berbagai kisah tersebut adegan favorit yang selalu berhasil bikin saya ber-Aaaaaw…. terharu adalah ketika Mark menyatakan unrequited love-nya pada Juliet melalui rangkaian poster. Sungguh sangat manis sekali.. Selain itu saya juga suka bagaimana bapak dan anak, Daniel dan Sam, membicarakan tentang cinta. Bocah sekecil itu sudah bisa  merasakan the agony of being in love, lutunaaaaaaa…

Jadi, apa film-film sepanjang masa versimu sendiri?


Tentang Life Of Pi

life-of-pi-book-coverSaya sudah membaca buku Life of Pi karya Yann Martel beberapa tahun yang lalu. Tak seperti buku-buku lain yang diangkat ke layar lebar, ketika mendengar kisah ini akan difilmkan, saya tak seberapa antusias. Nggak kebayang aja bakal jadi kayak apa cerita seorang anak manusia yang terombang-ambing di samudera lepas dalam sebuah perahu bersama binatang-binatang jika difilmkan. Kalau salah garap malah bisa jadi membosankan. Namun ketika film ini akhirnya tayang di bioskop, dan ditangani oleh nama sebesar Ang Lee yang saya kagumi karya-karyanya, sayapun bersegera menonton.

Semula saya ingin menontonnya dalam format IMAX. Lebih karena saya seumur-umur belum pernah nonton IMAX, dan mumpung studio yang menyediakan IMAX tak terlalu jauh dari kosan, lagi tanggal muda pula jadi kenapa tidak? Sayangnya  studio tersebut sedang menayangkan film lain. Ada sih Life Of Pi, tapi dalam versi biasa. Bahkan bukan yang 3D. Salahkan partner nonton yang terlebih dahulu menunjukkan trailler film ini di youtube sehingga saya bersikukuh harus menonton minimal versi 3D-nya. Jadilah meluncur untuk berpindah studio demi 3D.

Suraj Sharma and tiger in Life of Pi.

And it really was the right choice to make. Gambar-gambar yang disajikan Ang Lee yang seperti biasa begitu cantik dan indah, jadi terasa begitu hidup dan memukau dalam bentuk 3D. Saya bisa bilang film ini merupakan film dengan efek 3D terbaik yang pernah saya tonton selama ini. Sepanjang film entah berapa kali saya dengan ndesonya ber-“wooooow” “waaaah” atau terkaget “edan!”  saking takjubnya. Secara cerita saya tak banyak komentar karena Ang Lee cukup setia menyajikan apa yang dikisahkan Yann Martel, dan kisahnya sendiri memang luar biasa. Belum lagi akting Suraj Sharma dari yang nampak bersih ganteng terurus hingga jadi kurus dekil terpanggang matahari, mengingatkan saya pada totalitas Christian Bale atau Tom Hanks mengkondisikan tubuh sesuai tuntutan cerita. Meski tentu masih panjang jalan yang terbentang untuknya membuktikan diri di perfilman dunia. Saya sungguh nggak akan heran kalau film ini masuk nominasi atau bahkan mendapatkan penghargaan Oscar. Coz this movie, really deserve it!

 

*pinjem gambar dari sini dan sini