Cerita Backsound

Sebuah sore di ciwalk. Saya melewati sebuah toko buku dan teringat kalau harus membeli pembatas untuk merapikan tumpukan buku yang berceceran di kamar. Saya masuki toko itu, perlahan menyusuri deretan rak demi menemukan benda yang saya cari. Saya melihatnya, menengok sekilas, lalu meletakkannya lagi. Kemudian secepat mungkin meninggalkan toko itu. Jika anda mengira saya batal membeli benda yang saya incar karena harganya mahal, bukan itu yang terjadi. Harga pembatas buku itu cukup masuk akal. Saya keluar secepat mungkin dari toko itu karena tidak tahan dengan backsound yang diputar. Entah lagu berjudul apa dari band semacam Kangen band.

Seperti beberapa waktu sebelumnya, ketika saya sedang menikmati kebersamaan dengan seorang teman pria di salah satu cafe di citos. Well… say it, kencan. Tiba-tiba perasaan saya tak enak. Saya pun mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari sumbernya. Ketemu. Tersangkanya adalah sebuah tv flat yang tertambat pada channel MTV Indonesia. Jangan salah paham dulu, saya suka MTV. Yang jadi masalah adalah, saat itu MTV Indonesia sedang menayangkan video klip ST12. Saya pun pamit kepada teman pria yang langsung ngakak menyadarinya. Jadilah saya mengungsi ke toilet sampai kira-kira video klip tersebut berakhir.

Cuma masalah selera, saya rasa. Dan kebetulan selera saya tak akur dengan aliran musik yang dimainkan Kangen Band, ST12, dan band-band sejenis. Maka demi kedamaian dunia dan seisinya, saya biasanya memilih menyingkir. Kemudian terpikir, urusan backsound ini rupanya menjadi penting bagi sebuah bisnis terkait psikologi konsumen. Bagaimana membuat konsumen merasa nyaman, atau malah mengusirnya jauh-jauh.

Buktinya pada suatu saat dan toko yang lain, saya bisa betah berputar-putar dan enggan keluar hanya karena backsound yang diputar adalah lagu-lagu boysband favorit saya. Lupa apakah saya sempat membeli sesuatu di toko itu atau tidak, tapi saya betah di sana.

Bahkan, saya bisa senyum-senyum dan tertawa dalam sebuah sesi penyiksaan (baca: facial) di salah satu klinik kecantikan hanya karena mereka memutarkan lagu yang saya rasa “tepat”. Di tengah rasa sakit karena setiap pori di wajah saya dipencet dengan alat entah apa untuk mengeluarkan sebum dan komedo (percayalah, beauty is painful itu nyata), mas Enrique Iglessias dengan manis melantunkan

“I could be your hero baby..

I could kiss away the pain…”

How I wish he could really kiss away the pain of the torture i was in :p


18 responses to “Cerita Backsound

Tinggalkan Balasan ke Mbah Jiwo Batalkan balasan